Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Masalah Pembangunan dan Analisa Ekonomi Pembangunan
Penggolongan Terhadap Berbagai Negara
Ditinjau dari perbedaan taraf kesejahteraan masyarakat mereka, negara-negara yang ada di dunia pada masa kini biasanya dibedakan dalam dua golongan : negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Yang termasuk dalam golongan negara-negara maju terutama adalah negara-negara yang terdapat di Eropa Barat dan Amerika Utara, negara-negara Australia, New Zealand dan akhir-akhir ini termasuk juga Jepang. Kebanyakan negara-negara berkembang terdapat di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Beberapa negara berkembang mempunyai pendapatan per kapita yang cukup tinggi, yaitu lebih tinggi dari US$ 200. Sebagian ahli-ahli ekonomi menggolongkan negara-negara tersebut sebagai negara-negara setengah maju (semi developed countries). Sedangkan negara-negara berkembang yang pendapatan per kapita sangat rendah, yaitu nilainya adalah disekitar US$ 200 atau kurang, mereka disebut negara-negara miskin (poor countries).
Beberapa di antara mereka ada yang berpendapatan per kapita sama dengan negara-negara yang tergolong sebagai negara-negara maju. Sayangnya, mereka masih mempunyai struktur ekonomi dan masyarakat yang tidak berbeda dengan negara-negara berkembang lain dan oleh karenannya masih belum fianggap sebagai negara maju. Contoh yang jelas sekali dalam hal ini adalah Lybia, yang pendapatan per kapitanya melebihi tingkat pendapatan per kapita kebanyakan negara-negara maju yang di Eropa Barat. Namun demikian negara tersebut masih digolongkan sebagai negara berkembang. Satu-satunya negara yang pada mulanya diangggap sebagai negara berkembang tetapi sekarang telah dipandang sebagai negara maju adalah Jepang. Belakangan ini terdapat lagi beberapa negara yang mempunyai taraf pembangunanyang telah hampir mencapai taraf negara-negara maju dan apabila laju pembangunan mereka berjalan dengan pesat, dalam waktu yang tidak begitu lama lagi negara tersebut sudah dapat digolongkan sebagaai negara maju. Israel, Korea Selatan, Taiwan, dan Puerto Riko merupakan negara-negara yang dapat dimasukkan dalam golongan ini.
Analisa ekonomi pembangunan merupakan cabang ilmu ekonomi yang khusus membahas masalah-masalah pembangunan di negara-negara berkembang. Tujuannya adalah untuk menelaah faktor-faktor yang menimbulkan ketiadaan pembangunan, atau pembangunan yang lambat, di negara-negara berkembang dan selanjutnya mengemukakan cara pendekatan yang dapat di tempuh untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehingga dapat memperlaju jalannya pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut.
Berkembangnya Perhatian Terhadap Masalah Pembangunan Ekonomi
Para ilmiawan dari berbagai jurusan ilmu pengetahuan, pejabat-pejabat, dan badan-badan pemerintah dari berbagai tingkatan, pemerintah negara-negara maju, dan beberapa badan internasional, memberikan perhatian yang sangat besar kepada berbagai aspek mengenai pembangunan pembangunan ekonomi. Keadaan seperti ini baru berkembang setelah Perang Dunia Kedua. Sebelum itu sangat sedikit sekali perhatian diberikan oleh berbagai kalangan kepada pembahasan,analisa dan pelaksanaan pembangunan ekonomi.
Ada beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab dari terbatasnya perhatian terhadap masalah pembangunan di negara-negara berkembang pada masa sebelum perang dunia kedua. Faktor yang pertama adalah kenyataan pada masa itu banyak dari negara-negara berkembangan yang sekarang ini masih merupakan daerah-daerah jajahan. Para penjajah pada umumnya tidak merasa perlu memikirkan secara sungguh-sungguh masalah pembangunan daerah jajahan mereka. Mereka hanya membangun daerah-daerah jajahan dengan tujuan untuk menciptakan keuntungan bagi negara mereka, jadi bukan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan penduduk daerah-daerah itu. Oleh karenanya kegiatan pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah jajahan sangat terbatas sekali dan pada umumnya bertujuan untuk menciptakan pasar bagi hasil industri-industri yang berada di negara-negara penjajah atau untuk menyediakan bahan-bahan mentah yang diperlukan oleh industri-industri tersebut.
Faktor kedua adalah kurangnya usaha dari para pemimpin masyarakat yang dijajah untuk membahas persoalan-persoalan pembangunan ekonomi. Tujuan meraka adalah memperjuangkan kemerdekaan dan dalam usaha untuk mencapai cita-cita ini mereka menyampingkan sama sekali berbagai issue yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Keterbelakangan daerah-daerah mereka selalu dikaitkan dengan adanya penjajahan dan menganggap pembangunan ekonomi tidak akan mungkin berjalan selama penjajah belum dihalau. Oleh sebab itu sebahagian besar dari daya usaha dan pemikiran mereka terutama ditujukan untuk mengusir penjajah secepat mungkin.
Faktor penting lainnya adalah karena dilingkungan para ahli ekonomi pun penelitian dan analisa mengenai masalah itu masih sangat terbatas. Pada umumnya ahli-ahli ekonomi Barat yang terkemuka pada masa tersebut lebih menumpahkan perhatian mereka kepada menganalisa mengenai masalah kemelesetan ekonomi dan pengangguran, karena dalam tiga dasawarsa pertama abad ini masalah pengangguran dan depresi merupakan masalah dunia yang utama. Malangnya, teori-teori yang ada pada waktu itu banyak menganalisa mengenai masalah tersebut, dan dengan demikian tidak dapat memberikan dasar-dasar kebijaksanaan untuk mengatasi masalahnya.
Semakin bertambahnya perhatian yang di berikan dalam membangun negara-negara berkembang, maka makin meluas pula kesadaran bahwa tugas membangun negara-negara itu bukanlah tugas yang mudah dan sederhana. Bantuan modal, teknik dan tenaga ahli dari negara-negara kaya belum merupakan jaminan yang kuat bagi tercapainya cita-cita tersebut.
Senin, 09 April 2012
KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI TK_5
Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Mengaku HRD TransTV, Emita Tipu Hingga Rp8 Juta
Mengaku HRD TransTV, Emita Danil berhasil menipu 2 orang korban, Zuraida Thabranie dan Ragil Sutji Relawati, keduanya adalah warga Kramat Jati, Jakarta Timur. Emita diamankan di rumahnya di Jalan Kramat Pulo RT 01 RW 03 No. 23B, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Senin (6/2/2012). Dua orang tersebut ditipu hingga Rp8 juta.
Kejadian berawal ketika dua orang korban dijanjikan tersangka bahwa TransTV akan pindah ke Jati Asih, Bekasi dan sedang membangun kios kantin yang akan di sewakan seharga Rp20 juta. Korban pun tergiur, namun korban menawar hingga diperoleh harga kesepakatan menjadi Rp4 juta. Keduanya memesan dua buah kios.
"Transaksinya di Seven Eleven Tebet Barat. Ada barang bukti kuitansi logo TransTV," kata Humas Polsek Tebet Aiptu Broto Swarno, Senin (6/2/2012).
Tak lama usai transaksi, korban kemudian mengkonfirmasi langsung ke kantor TransTV. Namun, ternyata kios tersebut tidak ada. Merasa tertipu keduanya melapor ke Polsek Tebet.
Polsek Tebet kemudian yang mendapatkan laporan langsung melakukan pengejaran dan menangkap tersangka di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat pasal 378 KUHP dengan sangsi hukuman 4 tahun penjara. Kasus ini sendiri dilimpahkan ke Polres Metro Jakarta Selatan. "Kasus dilimpahkan karena pelakunya adalah perempuan, di Polsek Tebet tidak ada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)," jelas Broto.
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Mengaku HRD TransTV, Emita Tipu Hingga Rp8 Juta
Mengaku HRD TransTV, Emita Danil berhasil menipu 2 orang korban, Zuraida Thabranie dan Ragil Sutji Relawati, keduanya adalah warga Kramat Jati, Jakarta Timur. Emita diamankan di rumahnya di Jalan Kramat Pulo RT 01 RW 03 No. 23B, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, Senin (6/2/2012). Dua orang tersebut ditipu hingga Rp8 juta.
Kejadian berawal ketika dua orang korban dijanjikan tersangka bahwa TransTV akan pindah ke Jati Asih, Bekasi dan sedang membangun kios kantin yang akan di sewakan seharga Rp20 juta. Korban pun tergiur, namun korban menawar hingga diperoleh harga kesepakatan menjadi Rp4 juta. Keduanya memesan dua buah kios.
"Transaksinya di Seven Eleven Tebet Barat. Ada barang bukti kuitansi logo TransTV," kata Humas Polsek Tebet Aiptu Broto Swarno, Senin (6/2/2012).
Tak lama usai transaksi, korban kemudian mengkonfirmasi langsung ke kantor TransTV. Namun, ternyata kios tersebut tidak ada. Merasa tertipu keduanya melapor ke Polsek Tebet.
Polsek Tebet kemudian yang mendapatkan laporan langsung melakukan pengejaran dan menangkap tersangka di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat pasal 378 KUHP dengan sangsi hukuman 4 tahun penjara. Kasus ini sendiri dilimpahkan ke Polres Metro Jakarta Selatan. "Kasus dilimpahkan karena pelakunya adalah perempuan, di Polsek Tebet tidak ada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)," jelas Broto.
KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI TK_4
Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Tiga Anggota 'KPK' Peras Bupati Kabupaten Karimun
Tim Buser Polresta Barelang menangkap tiga tersangka anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bodong di lobi lantai dua Hotel Novotel Batam pada Selasa kemarin.
Ketiga tersangka ditangkap karena terbukti mencoba melakukan pemerasan terhadap Bupati Kabupaten Karimun, Nurdin Basirun.
Mereka adalah Iman Hermanto (38) dan Rusdi Musa (37) merupakan warga Jakarta, sedangkan satu tersangka lain adalah Budi Sudarmawan (41) warga Batam.
Penangkapan itu berawal dari kecurigaan Bupati Kabupaten Karimun terhadap ketiga anggota kpk gadungan tersebut. Salah satunya karena ditemukan kejanggalan dari surat perintah dan surat pemanggilan atas dugaan korupsi alokasi dana APBD Pemkab Karimun sebesar Rp24 miliar.
Rencana pemanggilan itu sendiri sesuai dengan surat palsu yang diterima Nurdin pada Kamis 10 Februari 2012 pukul 13.00 WIB di Kantor KPK Jakarta atas dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan alokasi APBD 2007/2008 dan penanganan gratifikasi di Kabupaten Karimun.
Melihat hal tersebut, Nurdin kemudian mengkoordinasikan hal tersebut kepada Kapolres Karimun AKBP Benyamin Sapta setelah sebelumnya pihaknya telah melakukan koordinasi langsung dengan pihak KPK di Jakarta tentang pemanggilan terhadap dirinya.
"Setelah mendapatkan informasi tersebut, Kapolres Karimun kemudian berkoordinasi dengan Kapolresta Barelang tentang keberadaan KPK gadungan tersebut di Batam," kata Kasat Reskrim Polresta Barelang Kompol Yos Guntur di Batam, Rabu (1/2/2012).
Yos menambahkan, berdasarkan koordinasi tersebut kemudian pihaknya ditugaskan untuk melakukan penangkapan terhadap ketiga tersangka saat akan melakukan pertemuan dengan Kabag Umum Pemkab Karimun Hery Sutiono yang mewakili Nurdin Basirun.
"Ketiga tersangka kita tangkap dengan memancing melakukan pertemuan dengan perwakilan Pemkab Karimun di Hotel Novotel," lanjut yos.
Dalam pertemuan itu, ketiga tersangka ini menyampaikan kepada utusan Pemkab Karimun bahwa mereka bisa membatalkan pemanggilan terhadap Bupati Karimun Nurdin Basirun untuk tidak datang ke kantor KPK di Jakarta.
"Setelah ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, akhirnya perwakilan Pemkab Karimun memberikan uang muka sebesar Rp5 juta sebagai tanda jadi atas kesepakatan tersebut," terangnya.
Saat ini ketiga tersangka sedang menjalani pemeriksaan di Unit VI (Jatanras) Polresta Barelang atas kasus pemerasan tersebut. "Kita masih terus dalami dan mengembangkan kasus ini," ujar Yos.
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Tiga Anggota 'KPK' Peras Bupati Kabupaten Karimun
Tim Buser Polresta Barelang menangkap tiga tersangka anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bodong di lobi lantai dua Hotel Novotel Batam pada Selasa kemarin.
Ketiga tersangka ditangkap karena terbukti mencoba melakukan pemerasan terhadap Bupati Kabupaten Karimun, Nurdin Basirun.
Mereka adalah Iman Hermanto (38) dan Rusdi Musa (37) merupakan warga Jakarta, sedangkan satu tersangka lain adalah Budi Sudarmawan (41) warga Batam.
Penangkapan itu berawal dari kecurigaan Bupati Kabupaten Karimun terhadap ketiga anggota kpk gadungan tersebut. Salah satunya karena ditemukan kejanggalan dari surat perintah dan surat pemanggilan atas dugaan korupsi alokasi dana APBD Pemkab Karimun sebesar Rp24 miliar.
Rencana pemanggilan itu sendiri sesuai dengan surat palsu yang diterima Nurdin pada Kamis 10 Februari 2012 pukul 13.00 WIB di Kantor KPK Jakarta atas dugaan tindak pidana korupsi pelaksanaan alokasi APBD 2007/2008 dan penanganan gratifikasi di Kabupaten Karimun.
Melihat hal tersebut, Nurdin kemudian mengkoordinasikan hal tersebut kepada Kapolres Karimun AKBP Benyamin Sapta setelah sebelumnya pihaknya telah melakukan koordinasi langsung dengan pihak KPK di Jakarta tentang pemanggilan terhadap dirinya.
"Setelah mendapatkan informasi tersebut, Kapolres Karimun kemudian berkoordinasi dengan Kapolresta Barelang tentang keberadaan KPK gadungan tersebut di Batam," kata Kasat Reskrim Polresta Barelang Kompol Yos Guntur di Batam, Rabu (1/2/2012).
Yos menambahkan, berdasarkan koordinasi tersebut kemudian pihaknya ditugaskan untuk melakukan penangkapan terhadap ketiga tersangka saat akan melakukan pertemuan dengan Kabag Umum Pemkab Karimun Hery Sutiono yang mewakili Nurdin Basirun.
"Ketiga tersangka kita tangkap dengan memancing melakukan pertemuan dengan perwakilan Pemkab Karimun di Hotel Novotel," lanjut yos.
Dalam pertemuan itu, ketiga tersangka ini menyampaikan kepada utusan Pemkab Karimun bahwa mereka bisa membatalkan pemanggilan terhadap Bupati Karimun Nurdin Basirun untuk tidak datang ke kantor KPK di Jakarta.
"Setelah ada kesepakatan di antara kedua belah pihak, akhirnya perwakilan Pemkab Karimun memberikan uang muka sebesar Rp5 juta sebagai tanda jadi atas kesepakatan tersebut," terangnya.
Saat ini ketiga tersangka sedang menjalani pemeriksaan di Unit VI (Jatanras) Polresta Barelang atas kasus pemerasan tersebut. "Kita masih terus dalami dan mengembangkan kasus ini," ujar Yos.
KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI TK_3
Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Pakai Premium, Mobil Dinas Siap-Siap Terima Sanksi
Pemerintah akan menerbitkan aturan yang melarang kendaraan dinas pemerintah menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Aturan ini dibuat agar terjadi penghematan di tubuh Kementerian Lembaga (K/L).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, saat ini aturan tersebut tengah dikembangkan. Nantinya, sekretaris kabinet akan mematangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) atau Peraturan Presiden (Perpres).
"Itu nanti disusun. Kendaraan dinas tidak lagi (menggunakan premium). Sehingga nanti ada penghematan," ungkap Hatta di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (3/4/2012)
Maksud Hatta, dengan tidak diizinkannya kendaraan dinas menggunakan premium dan adanya pemotongan anggara pada K/L maka akan menekan perjalan dinas. "Oleh karena itu maka perjalanan (dinas) pun akan berkurang," tambah dia.
Meski begitu, dia mengatakan di beebrapa daerah memang kendaraan dinas masih diizinkan menggunakan premium karena belum tersedianya pertamax. "Kalau itu ya kita harus maklumi. Tidak mungkin, masa dia berhenti beroperasi. Penghematan itu tidak perlu diatur tapi melekat pada diri kita," jelas Hatta.
Dengan adanya aturan tersebut, maka mobil dinas yang masih menggunakan premium nantinya bisa terkena sanksi. "Kalau level pemerintah, kita bisa memberikan sanksi soal itu," tukas Hatta.
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Pakai Premium, Mobil Dinas Siap-Siap Terima Sanksi
Pemerintah akan menerbitkan aturan yang melarang kendaraan dinas pemerintah menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Aturan ini dibuat agar terjadi penghematan di tubuh Kementerian Lembaga (K/L).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, saat ini aturan tersebut tengah dikembangkan. Nantinya, sekretaris kabinet akan mematangkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) atau Peraturan Presiden (Perpres).
"Itu nanti disusun. Kendaraan dinas tidak lagi (menggunakan premium). Sehingga nanti ada penghematan," ungkap Hatta di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (3/4/2012)
Maksud Hatta, dengan tidak diizinkannya kendaraan dinas menggunakan premium dan adanya pemotongan anggara pada K/L maka akan menekan perjalan dinas. "Oleh karena itu maka perjalanan (dinas) pun akan berkurang," tambah dia.
Meski begitu, dia mengatakan di beebrapa daerah memang kendaraan dinas masih diizinkan menggunakan premium karena belum tersedianya pertamax. "Kalau itu ya kita harus maklumi. Tidak mungkin, masa dia berhenti beroperasi. Penghematan itu tidak perlu diatur tapi melekat pada diri kita," jelas Hatta.
Dengan adanya aturan tersebut, maka mobil dinas yang masih menggunakan premium nantinya bisa terkena sanksi. "Kalau level pemerintah, kita bisa memberikan sanksi soal itu," tukas Hatta.
KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI TK_2
Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
"Lebih Baik Naikkan BBM Ketimbang Batasi BBM Subsidi"
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan lebih baik menaikkan bahan bakar minyak (BBM) daripada membatasi BBM bersubsidi.
"Karena untuk membatasi BBM bersubsidi lebih ribet mekanismenya, seperti harus menyeleksi mana yang boleh menikmati BBM bersubsidi dan tidak boleh menikmati BBM besubsidi. Lebih baik menaikkan BBM Rp200-Rp300-an saja daripada harus membatasi pemakaian BBM bersubsidi," katanya.
Ini dikatakan Sofjan karena nantinya dana yang dikeluarkan untuk mempersiapkan pembatasan BBM bersubsidi tersebut akan lebih besar dari jumlah pengeluaran untuk subsidi tersebut.
"Kenaikan BBM tersebut untuk Apindo sendiri lebih meringankan daripada dengan menggunakan Pertamax yang kenaikannya jauh sekali," tegasnya.
Menurutnya, Apindo sendiri harus melakukan hitung-hitungan kenaikan ongkos bagi karyawan yang naik mobil, di mana dulunya biasa menikmati BBM bersubsidi sekarang menggunakan BBM nonsubsidi. "Serta harus perhitungan lagi ongkos pengiriman logistik," ujarnya.
Ditambahkannya, pembatasan BBM bersubsidi ini nantinya hanya akan memberatkan Hiswana Migas saja, karena akan adanya pengawasan yang lebih ekstra.
"Pengawasan terhadap Hiswana Migas perlu diperketat agar tidak ada tindakan yang merugikan kami, jika beban yang musti bayar kita, nanti kita bebankan lagi ke konsumen," pungkasnya.
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
"Lebih Baik Naikkan BBM Ketimbang Batasi BBM Subsidi"
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan lebih baik menaikkan bahan bakar minyak (BBM) daripada membatasi BBM bersubsidi.
"Karena untuk membatasi BBM bersubsidi lebih ribet mekanismenya, seperti harus menyeleksi mana yang boleh menikmati BBM bersubsidi dan tidak boleh menikmati BBM besubsidi. Lebih baik menaikkan BBM Rp200-Rp300-an saja daripada harus membatasi pemakaian BBM bersubsidi," katanya.
Ini dikatakan Sofjan karena nantinya dana yang dikeluarkan untuk mempersiapkan pembatasan BBM bersubsidi tersebut akan lebih besar dari jumlah pengeluaran untuk subsidi tersebut.
"Kenaikan BBM tersebut untuk Apindo sendiri lebih meringankan daripada dengan menggunakan Pertamax yang kenaikannya jauh sekali," tegasnya.
Menurutnya, Apindo sendiri harus melakukan hitung-hitungan kenaikan ongkos bagi karyawan yang naik mobil, di mana dulunya biasa menikmati BBM bersubsidi sekarang menggunakan BBM nonsubsidi. "Serta harus perhitungan lagi ongkos pengiriman logistik," ujarnya.
Ditambahkannya, pembatasan BBM bersubsidi ini nantinya hanya akan memberatkan Hiswana Migas saja, karena akan adanya pengawasan yang lebih ekstra.
"Pengawasan terhadap Hiswana Migas perlu diperketat agar tidak ada tindakan yang merugikan kami, jika beban yang musti bayar kita, nanti kita bebankan lagi ke konsumen," pungkasnya.
KASUS ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI TK_1
Nama : Pipo Legenda
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Menyoal Perlakuan PPN Atas Penyerahan Jasa Oleh BUT Yang Tidak Memiliki NPWP
Dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri di Indonesia telah melampaui jangka waktu tertentu (time test) baik menurut tax treaty ataupun menurut UU PPh dalam hal tax treaty tidak dapat diberlakukan karena tidak terdapat Surat Keterangan Domisili maupun karena perusahaan pemberi jasa tersebut berasal dari negara di mana Indonesia tidak menandatangani tax treaty, maka kegiatan tersebut akan tetap dianggap menimbulkan adanya BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia terlepas dari apakah perusahaan tersebut memiliki NPWP atau tidak.
Penentuan timbul tidaknya BUT (Bentuk Usaha Tetap) dari suatu kegiatan pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri adalah terkait dengan perlakuan pemajakannya. Tulisan ini masih menyoroti pemajakan atas pembayaran imbalan jasa kepada BUT yang tidak memiliki NPWP tetapi dari aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
BUT Sebagai Pengusaha Kena Pajak
Pasal 1 angka 15 UU Nomor 42 Tahun 2009 (untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan UU PPN) serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 pasal 1 angka 3 mendefinisikan Pengusaha Kena Pajak sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Pengertian pengusaha itu sendiri berdasarkan pasal 1 angka 14 UU PPN dan pasal 1 angka 2 PP Nomor 1 Tahun 2012 adalah merupakan orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Selanjutnya pengertian Badan menurut pasal 1 angka 13 UU PPN dan penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah mencakup Bentuk Usaha Tetap.
Sebagai yang termasuk dalam pengertian Badan, meskipun merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, apabila BUT melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean, maka BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, memungut pajak yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan melaporkan dalam SPT Masa PPN.
Hal ini diatur dalam pasal 3A ayat (1) UU PPN serta penjelasannya. Pengecualian diberikan bagi Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN dinyatakan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Perlakuan PPN Atas Penyerahan Jasa Oleh BUT Yang Tidak Memiliki NPWP
Ketika Wajib Pajak Dalam Negeri melakukan pembayaran atas imbalan jasa kepada pihak perusahaan luar negeri yang tidak atau belum memiliki NPWP meskipun dari kegiatan pemberian jasa yang dilakukannya nyata-nyata telah menimbulkan adanya BUT di Indonesia, di mana terdapat kebimbangan dalam menentukan apakah atas imbalan jasa yang dibayarkan akan dipotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 26. Hal yang sama juga terjadi dari aspek pengenaan PPNnya. Para pihak yang condong melakukan pemotongan PPh pasal 26 dengan alasan BUT tersebut tidak memiliki NPWP umumnya akan melakukan penyetoran sendiri (self imposition) PPN dengan dalil pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean.
Jika hal ini dapat dibenarkan maka akan menjadi tidak sinkron dengan ketentuan pasal 3A ayat (1) UU PPN beserta penjelasannya. Meskipun tidak atau belum memiliki NPWP, BUT yang melakukan penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean harus tetap dipandang sebagai penyerahan di dalam Daerah Pabean dan oleh karenanya BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk kemudian memungut PPN dari pengguna jasa, menyetorkannya setelah diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN.
Tidak terdapat ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa penyerahan sedemikian itu akan berubah perlakuan pengenaan PPN-nya menjadi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean dalam hal BUT tersebut belum memiliki NPWP dan belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.5/1995 pada butir 1.1 memberikan pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagai berikut:
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri.
Surat Edaran tersebut tidak berlaku lagi seiring dengan pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994 yang mendasarinya. Namun demikian menurut penulis, pengertian tersebut adalah tepat dan masih relevan di mana apabila penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan di dalam Daerah Pabean melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri. Hal ini juga sinkron dengan pasal 3A ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2009.
Selanjutnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 tentang Penjelasan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean malah menimbulkan pertanyaan besar bagi penulis, khususnya pada butir 3 dan butir 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Butir 3:
Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean adalah:
a. Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;
b. Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri;
c. Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.
Butir 4:
Dalam hal pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri, maka pemberian Jasa Kena Pajak tersebut termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Kalimat pada butir 3.b dan butir 4 Surat Edaran di atas adalah kurang tepat karena seolah-olah menyimpulkan bahwa kegiatan pemberian jasa dapat menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Mengacu pada pasal 2 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), orang pribadi merupakan Subjek Pajak dalam negeri dalam hal yang bersangkutan bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Selanjutnya sebuah badan adalah Subjek Pajak dalam negeri dalam hal badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kalaupun hendak dikaitkan dengan ketentuan penentuan penduduk (residence) dalam kasus kependudukan ganda (dual residence) misalnya pada tax treaty antara Indonesia dengan Korea atau Belanda, maka badan atau perusahaan luar negeri dapat menjadi Subjek Pajak dalam negeri apabila tempat kedudukan manajemen yang efektif (place of effective manajement) berada di Indonesia.
Dengan demikian kegiatan penyerahan jasa di Indonesia itu sendiri pada hakekatnya tidak akan pernah menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri. Yang dapat timbul dari kegiatan penyerahan jasa oleh orang pribadi atau perusahaan luar negeri di Indonesia adalah BUT yaitu apabila lamanya penyerahan jasa tersebut di Indonesia melampaui jangka waktu tertentu (time test) yang kemudian dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh dinyatakan bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan BUT tersebut dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.
Tanggung Jawab Renteng PPN Bagi Penerima Jasa
Risiko tanggung renteng pembayaran PPN bagi penerima jasa akan timbul manakala BUT pemberi jasa tidak menjalankan kewajibannya berdasarkan sistim self assessment di mana berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), BUT tersebut wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak untuk mendapatkan NPWP dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
BUT yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak sesuai pasal 14 UU PPN. Dalam kondisi demikian penerima jasa tidak dapat membayar PPN karena tidak ada Faktur Pajak yang diterbitkan oleh BUT pemberi jasa. Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang memungkinkan penerima jasa melakukan penyetoran sendiri PPN terutang untuk penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak, termasuk yang belum dikukuhkan jadi Pengusaha Kena Pajak.
Tanggung jawab renteng diatur dalam pasal 16 F Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 serta
pasal 4 PP Nomor 1 Tahun 2012 yang intinya adalah bahwa penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran kepada penjual atau pemberi jasa.
Ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng ini masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh perusahaan luar negeri pemberi jasa yang atas kegiatannya menimbulkan BUT adalah merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean, Tidak terdapat ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa penyerahan di dalam Daerah Pabean tersebut berubah perlakuan PPNnya menjadi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean dalam hal BUT tersebut tidak atau belum memiliki NPWP dan tidak atau belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, sehingga pihak perusahaan penerima Jasa Kena Pajak keliru apabila melakukan penyetoran sendiri PPN.
Pihak Direktorat Jenderal Pajak perlu memikirkan cara paling efektif untuk menjaring semua WPLN yang melakukan kegiatan pemberian jasa di Indonesia yang berdasarkan P3B atau ketentuan UU PPh menimbulkan BUT di Indonesia agar mereka mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk memperoleh NPWP dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau diberikan NPWP dan pengukuhan PKP secara jabatan.
Selanjutnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 khususnya butir 3.b dan butir 4 perlu dilakukan revisi karena kurang menjabarkan ketentuan yang sebenarnya mengenai kemungkinan perusahaan luar negeri pemberi jasa menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Npm : 25210342
Kelas: 2EB18
Menyoal Perlakuan PPN Atas Penyerahan Jasa Oleh BUT Yang Tidak Memiliki NPWP
Dalam hal pelaksanaan suatu pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri di Indonesia telah melampaui jangka waktu tertentu (time test) baik menurut tax treaty ataupun menurut UU PPh dalam hal tax treaty tidak dapat diberlakukan karena tidak terdapat Surat Keterangan Domisili maupun karena perusahaan pemberi jasa tersebut berasal dari negara di mana Indonesia tidak menandatangani tax treaty, maka kegiatan tersebut akan tetap dianggap menimbulkan adanya BUT (Bentuk Usaha Tetap) di Indonesia terlepas dari apakah perusahaan tersebut memiliki NPWP atau tidak.
Penentuan timbul tidaknya BUT (Bentuk Usaha Tetap) dari suatu kegiatan pemberian jasa oleh perusahaan luar negeri adalah terkait dengan perlakuan pemajakannya. Tulisan ini masih menyoroti pemajakan atas pembayaran imbalan jasa kepada BUT yang tidak memiliki NPWP tetapi dari aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
BUT Sebagai Pengusaha Kena Pajak
Pasal 1 angka 15 UU Nomor 42 Tahun 2009 (untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan UU PPN) serta peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 pasal 1 angka 3 mendefinisikan Pengusaha Kena Pajak sebagai pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan UU PPN. Pengertian pengusaha itu sendiri berdasarkan pasal 1 angka 14 UU PPN dan pasal 1 angka 2 PP Nomor 1 Tahun 2012 adalah merupakan orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Selanjutnya pengertian Badan menurut pasal 1 angka 13 UU PPN dan penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah mencakup Bentuk Usaha Tetap.
Sebagai yang termasuk dalam pengertian Badan, meskipun merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, apabila BUT melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean, maka BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, memungut pajak yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan melaporkan dalam SPT Masa PPN.
Hal ini diatur dalam pasal 3A ayat (1) UU PPN serta penjelasannya. Pengecualian diberikan bagi Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600 juta sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN dinyatakan bahwa pengusaha yang melakukan kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak meliputi baik pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak maupun pengusaha yang seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi belum dikukuhkan.
Perlakuan PPN Atas Penyerahan Jasa Oleh BUT Yang Tidak Memiliki NPWP
Ketika Wajib Pajak Dalam Negeri melakukan pembayaran atas imbalan jasa kepada pihak perusahaan luar negeri yang tidak atau belum memiliki NPWP meskipun dari kegiatan pemberian jasa yang dilakukannya nyata-nyata telah menimbulkan adanya BUT di Indonesia, di mana terdapat kebimbangan dalam menentukan apakah atas imbalan jasa yang dibayarkan akan dipotong PPh pasal 23 atau PPh pasal 26. Hal yang sama juga terjadi dari aspek pengenaan PPNnya. Para pihak yang condong melakukan pemotongan PPh pasal 26 dengan alasan BUT tersebut tidak memiliki NPWP umumnya akan melakukan penyetoran sendiri (self imposition) PPN dengan dalil pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean.
Jika hal ini dapat dibenarkan maka akan menjadi tidak sinkron dengan ketentuan pasal 3A ayat (1) UU PPN beserta penjelasannya. Meskipun tidak atau belum memiliki NPWP, BUT yang melakukan penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean harus tetap dipandang sebagai penyerahan di dalam Daerah Pabean dan oleh karenanya BUT tersebut diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk kemudian memungut PPN dari pengguna jasa, menyetorkannya setelah diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN.
Tidak terdapat ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa penyerahan sedemikian itu akan berubah perlakuan pengenaan PPN-nya menjadi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean dalam hal BUT tersebut belum memiliki NPWP dan belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-08/PJ.5/1995 pada butir 1.1 memberikan pengertian Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagai berikut:
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak hanya disebut sebagai berasal dari luar Daerah Pabean apabila orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menyerahkannya ke dalam Daerah Pabean tidak melalui atau tidak atas nama Bentuk Usaha Tetapnya yang berada di dalam Daerah Pabean. Apabila penyerahannya dilakukan melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap yang berada di dalam Daerah Pabean, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri.
Surat Edaran tersebut tidak berlaku lagi seiring dengan pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994 yang mendasarinya. Namun demikian menurut penulis, pengertian tersebut adalah tepat dan masih relevan di mana apabila penyerahan Jasa Kena Pajak dilakukan di dalam Daerah Pabean melalui atau atas nama Bentuk Usaha Tetap, maka terhadap penyerahan tersebut berlaku ketentuan PPN atas penyerahan dalam negeri. Hal ini juga sinkron dengan pasal 3A ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2009.
Selanjutnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 tentang Penjelasan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean malah menimbulkan pertanyaan besar bagi penulis, khususnya pada butir 3 dan butir 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Butir 3:
Sedangkan yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean adalah:
a. Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah;
b. Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar Daerah Pabean sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut tidak menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri;
c. Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
d. Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.
Butir 4:
Dalam hal pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf b menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri, maka pemberian Jasa Kena Pajak tersebut termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.
Kalimat pada butir 3.b dan butir 4 Surat Edaran di atas adalah kurang tepat karena seolah-olah menyimpulkan bahwa kegiatan pemberian jasa dapat menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Mengacu pada pasal 2 ayat (3) UU Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), orang pribadi merupakan Subjek Pajak dalam negeri dalam hal yang bersangkutan bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Selanjutnya sebuah badan adalah Subjek Pajak dalam negeri dalam hal badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kalaupun hendak dikaitkan dengan ketentuan penentuan penduduk (residence) dalam kasus kependudukan ganda (dual residence) misalnya pada tax treaty antara Indonesia dengan Korea atau Belanda, maka badan atau perusahaan luar negeri dapat menjadi Subjek Pajak dalam negeri apabila tempat kedudukan manajemen yang efektif (place of effective manajement) berada di Indonesia.
Dengan demikian kegiatan penyerahan jasa di Indonesia itu sendiri pada hakekatnya tidak akan pernah menyebabkan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam negeri. Yang dapat timbul dari kegiatan penyerahan jasa oleh orang pribadi atau perusahaan luar negeri di Indonesia adalah BUT yaitu apabila lamanya penyerahan jasa tersebut di Indonesia melampaui jangka waktu tertentu (time test) yang kemudian dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU PPh dinyatakan bahwa pemenuhan kewajiban perpajakan BUT tersebut dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri.
Tanggung Jawab Renteng PPN Bagi Penerima Jasa
Risiko tanggung renteng pembayaran PPN bagi penerima jasa akan timbul manakala BUT pemberi jasa tidak menjalankan kewajibannya berdasarkan sistim self assessment di mana berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), BUT tersebut wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak untuk mendapatkan NPWP dan wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
BUT yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak sesuai pasal 14 UU PPN. Dalam kondisi demikian penerima jasa tidak dapat membayar PPN karena tidak ada Faktur Pajak yang diterbitkan oleh BUT pemberi jasa. Sayangnya, hingga kini belum ada regulasi yang memungkinkan penerima jasa melakukan penyetoran sendiri PPN terutang untuk penyerahan jasa di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak, termasuk yang belum dikukuhkan jadi Pengusaha Kena Pajak.
Tanggung jawab renteng diatur dalam pasal 16 F Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 serta
pasal 4 PP Nomor 1 Tahun 2012 yang intinya adalah bahwa penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran kepada penjual atau pemberi jasa.
Ketentuan mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng ini masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean oleh perusahaan luar negeri pemberi jasa yang atas kegiatannya menimbulkan BUT adalah merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean, Tidak terdapat ketentuan perpajakan yang mengatur bahwa penyerahan di dalam Daerah Pabean tersebut berubah perlakuan PPNnya menjadi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean dalam hal BUT tersebut tidak atau belum memiliki NPWP dan tidak atau belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, sehingga pihak perusahaan penerima Jasa Kena Pajak keliru apabila melakukan penyetoran sendiri PPN.
Pihak Direktorat Jenderal Pajak perlu memikirkan cara paling efektif untuk menjaring semua WPLN yang melakukan kegiatan pemberian jasa di Indonesia yang berdasarkan P3B atau ketentuan UU PPh menimbulkan BUT di Indonesia agar mereka mendaftarkan diri ke kantor pajak untuk memperoleh NPWP dan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau diberikan NPWP dan pengukuhan PKP secara jabatan.
Selanjutnya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 khususnya butir 3.b dan butir 4 perlu dilakukan revisi karena kurang menjabarkan ketentuan yang sebenarnya mengenai kemungkinan perusahaan luar negeri pemberi jasa menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
Langganan:
Postingan (Atom)